Perokok anak jumlahnya makin meningkat setiap tahunnya (sumber gambar: The Jakarta post) |
Suatu hari yang cerah dan ceria, dari kejauhan saya melihat sebuah toko yang dari luar kelihatan seperti toko serba ada. Saya punya niatan untuk masuk, tapi langkah saya terhenti tepat di depan tokonya. Tulisan Vape lah yang membuat saya segera tersadar, ini toko menjual rokok elektrik alias vape. Berbagai jenis rokok elektrik dijual dengan kemasan yang menarik dan iming-iming rasa dan bau asap yang beragam.
Sejak rokok elektrik diperkenalkan pertama kali, saya berpikir, apakah dampaknya tidak sebahaya rokok konvensional yang menggunakan tembakau? Apakah asapnya menjadi lebih aman bagi perokok pasif di sekitarnya? Jawabannya ternyata tidak aman sama sekali. Tetap lebih aman kalau tidak merokok. Studi tentang bahaya rokok elektrik ini telah dilakukan oleh banyak peneliti dari seluruh dunia sejak tahun 2014. Pada penelitian tersebut membahas mengenai dampak kesehatan yang ditimbulkan apabila menggunakan rokok elektrik dan rokok konvensional. Hasilnya, subjek yang merokok menggunakan rokok elektrik tetap memiliki peluang untuk terkena penyakit kardiovaskular dan kanker. Dalam rokok elektrik terkandung bahan-bahan seperti berikut: timbal, formaldehida, toluene, asetaldehid, benzena, kadmium, isoprena, nikel, nikotin, dan N-nitrosonornikotin.
Sayangnya, dengan masuknya rokok elektrik ini dianggap menjadi trend baru yang keren untuk merokok, khususnya di kalangan muda. Alat rokok elektrik yang nyentrik ini pun seketika menjadi benda bernilai gengsi tinggi. Belum gaul kalau belum ngevape, konon katanya. Hal inilah yang membuat saya menjadi tidak habis pikir. Bahaya yang mengintai dibalik vape ini mungkin belum disadari oleh orang banyak, dan saya juga langsung kepikiran dengan anak-anak yang sebagiannya sudah terpapar merokok sejak dini.
Banyak negara yang memberlakukan larangan keras bagi anak-anak untuk merokok. Jika dilihat berdasarkan The American Medical Association dan American Heart Association juga mengambil sikap hati-hati terhadap rokok elektrik, memprioritaskan pencegahan penggunaan di kalangan remaja dan tidak merekomendasikan rokok elektrik untuk berhenti merokok. Di Indonesia sendiri sebenarnya juga sudah ada PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, namun dalam Peraturan pemerintah ini belum membahas secara khusus mengenai pengaturan dan pengawasan rokok elektrik.
Selain itu, iklan rokok juga masih terpampang dengan sangat nyata dalam bentuk baliho yang sangat besar, bahkan bisa kita temui di jalan-jalan besar dan sampai ke pelosok daerah. Iklan berupa bentuk visual ini tentu didesain dengan tujuan agar subjek yang melihat iklan tersebut menjadi termotivasi untuk mencoba.
Anak-anak dan remaja menjadi salah satu subjek yang sangat rentan terhadap persebaran iklan rokok ini. Hal ini didukung oleh Data Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia pada tahun 2020, jumlah perokok yang berusia 10-18 tahun mengalami peningkatan sejumlah minimal 1% per tahunnya. Contohnya saja tren perokok anak pada tahun 2016 ada 8,8%, tahun 2018 mencapai 9.1%, dan tahun 2019 naik lagi hingga mencapai sebesar 10.7%.
Hal ini tentu perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan juga masyarakat. Jika jumlah anak yang merokok terus mengalami peningkatan, maka bahaya kesehatan untuk generasi muda menjadi sebuah hal kritis yang harus dipertimbangkan.
Anak-anak memiliki kecenderungan rasa ingin tahu yang besar dan cenderung mengikuti trend yang sedang hits saat ini. Masuknya rokok elektrik ini menjadi salah satu bagian dari yang dianggap sebagai “kekinian”. Produsen rokok elektrik menantikan peluang ini untuk menyasar generasi Z yang masih muda dan produktif.
Saya sendiri melihat dan menyaksikan ada orang yang saya kenal tidak merokok sebelumnya. Namun karena ada rokok elektrik ini, ia menjadi mencoba dan ternyata menyukai rokok elektrik ini. Saat saya tanyakan, ternyata ia punya pemahaman bahwa rokok elektrik ini aman, tidak berbahaya dan tidak menyebabkan penyakit seperti rokok tembakau konvensional. Saya cukup terkejut setelah menanyakan alasannya kepada teman saya ini, jawabannya adalah supaya ia tidak ketinggalan jaman dan menjadi anak yang kekinian. Saya sempat melihat ukuran dan tampilan produk rokok elektrik yang dia gunakan. Bentuk alatnya kecil, mudah dibawa kemana-mana dan juga warnanya sungguh menarik. Lagi-lagi salah paham, karena berkedok kemasan yang berwarna warni dan kecil.
Jika dilihat dari mudaratnya, berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh Irene Yang dkk pada tahun 2020, penggunaan rokok elektrik dapat meningkatkan resiko kerusakan gigi dan gusi, serta kandungan dari asap rokok elektrik bersifat genotoksik, sitotoksik dan karsinogenik. Banyak bahan-bahan dari rokok elektrik ini yang berbahaya untuk kesehatan tubuh kita. Walaupun tidak separah rokok tembakau konvensional, rokok elektrik juga menyimpan potensi buruk bagi kesehatan.
Sebagai salah satu akademisi di bidang kesehatan, saya sendiri punya cita-cita agar bangsa ini memiliki jumlah perokok anak sebesar 0%. Minimal setiap tahunnya mengalami penurunan jumlah yang konsisten dari tahun ke tahun. Adapun beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menurunkan jumlah perokok anak yaitu:
1. Penguatan orang tua sebagai role model anak
Lingkungan keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Anak akan mempelajari segala sesuatunya dimulai dari keluarga. Jika orang tua memberikan contoh yang baik, maka anak juga akan mengikuti. Orang tua hendaknya menjadi role model bagi anak, khususnya dalam hal merokok. Anak akan mencari pembenaran kalau dia diminta untuk tidak merokok, tapi orang tuanya saja tidak memberikan contoh yang baik.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menyadari hal ini. Mekanisme pembelajaran aktif anak-anak akan bergantung bagaimana dari pola asuh orang tuanya. Orang tua hendaknya juga berkomitmen untuk memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya.
2. Iklan rokok harus sangat dibatasi
Iklan rokok saat ini masih menjamur dimana-mana, bahkan ukuran balihonya bisa terlihat dari jarak yang jauh. Iklan di website juga sangat sering ditemui. Oleh karena itu, saya sangat berharap untuk iklan ini bisa dibuat regulasi yang lebih ketat. Karena tidak dipungkiri, kemampuan iklan ini akan menjadi kesadaran subliminal dalam otak anak-anak. Sehingga dampaknya pada saat mereka melihat produk tersebut, mereka memiliki keinginan untuk membeli dan mencoba.
3. Harga rokok dibuat sangat mahal
Anak-anak memiliki uang jajan yang terbatas, oleh karena itu jika harga rokok dibuat dengan sangat tinggi, anak-anak menjadi kesulitan untuk membeli. Katakanlah jika uang jajan anak adalah sebesar 25 ribu, maka harga rokok harus setidaknya 2 kali lipat dari uang jajan anak.
4. Kerjasama dari elemen masyarakat
Masyarakat memiliki peran kunci dalam proses ini. Pengendalian rokok elektrik di ruang lingkup masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Misalnya saja diadakan hari bebas rokok selama beberapa hari dalam satu minggu. Jika ada yang melanggar misalnya akan dikenakan punishment dalam bentuk denda atau kerja sosial.
5. Peran guru di sekolah
Anak-anak menghabiskan waktu kedua terbanyak adalah di sekolah. Di sinilah peran guru menjadi sangat krusial. Saya beberapa kali melihat bahwa guru SD, SMP dan SMA pun banyak juga yang merokok. Hal inilah yang seringkali ditiru oleh siswanya. Guru adalah panutan bagi siswanya. Saya berharap guru bisa menjadi pedoman bagi siswa yang patut untuk ditiru dan diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Tentunya kelima upaya ini melibatkan seluruh elemen mulai dari peran orang tua di rumah, bimbingan guru di sekolah, pengendalian di masyarakat dan regulasi dari pemerintah. Adanya kerjasama dari seluruh pihak ini, diharapkan akan lebih efektif dan mempercepat penurunan angka perokok anak. Pengendalian rokok ini akan sangat bermanfaat untuk menjaga generasi anak Indonesia yang terbebas dari paparan asap rokok dan juga kandungan rokok yang berbahaya untuk kesehatan.
Referensi:
1. American Medical Association. AMA strengthens policy on electronic cigarettes to protect youth; 2015. Web citation: http://www.webcitation.org/6uf72VQDD
2. American Heart Association. E-cigarettes and public health; 2016. Web citation: http://www.webcitation.org/6uf6zprUS
3. Yang, I., Sandeep, S., & Rodriguez, J. (2020). The oral health impact of electronic cigarette use: a systematic review. Critical reviews in toxicology, 50(2), 97-127.
Vape ini dianggap pengganti merokok dengan tembakau yg lebih ringan, padahal kandungan cairannya itu lebih berbahaya.
ReplyDeleteBetul mba, padahal lebih bahaya itu si cairannya. Ckckck..heran masih aja ada orang yang salah info ya mba.
Delete